Namanya Sawit

Bersama dua orang lainnya, Dullah menyeruput Kopi yang tidak bergula. Sawit menyambut mereka dengan seduhan yang pahit. Dullah kaget dengan kopi yang baru saja diseruputnya. Rasa gembira yang dibawa Dullah, berubah seketika dari mukanya. Seperti hentakan yang tak dapat ditepis.

“Maaf Sawit, kami hendak menawarimu hal baru tentang rencana kemitraan ini”, ujar Dullah memulai percakapan.

Sawit tidak berhenti memandangi setiap tamu dengan mata terpicing penuh kecurigaan. Walaupun kadang orang sulit menerjemahkan bahasa matanya, karena Sawit pirri sejak dilahirkan.

“Aku kembali untuk merdeka. Kau tahu aku tidak akan membiarkan mereka datang membayangiku”, suara Sawit mengagetkan para tetamu malam ini. Sawit kukuh pada pendiriannya yang semula.

“Sahabatku, sepertinya dirimu sudah tak lagi menikmati yang manis-manis”, sindir Dullah. Tidak seperti kebiasaan Dullah yang suka kopi dengan campuran gula. “Tapi kelihatannya kamu tetap bugar di usia yang semakin bertambah”.

Sawit memalingkan mukanya. Ia tahu ucapan Dullah menguggat relasinya. Persahabatan yang dijalin sejak muda hingga bekerja ditempat yang sama, tak mampu mengajak Sawit berkolusi. Justru Sawit semakin menantang.

“Kopi memang pahit”, Sawit kembali menyudutkan.

“Jadi begini, saudara, kami menawarkan pembagian hasil jika kamu setuju”, terang Dullah menyapu hening pertemuan itu. Getar suara Dullah masih ketahuan groginya untuk kembali melanjutkan percakapan. Sebab yang disampaikan cukup rumit. Ditambah Sawit membuka percakapan yang menjurus pada penolakan.

“Oh begitu. Tapi jujur saja saya tidak berminat. Apalagi kebun itu satu-satunya harapanku untuk memutuskan pulang kesini”

“Tidak masalah, sebab kamu masih memiliki itu, hanya kami akan mengelolanya. Eh, dan tentu saja kamu masih bekerja di kebunmu itu”

Sawit tidak pernah berpikir akan masuknya tanaman itu. Malah seakan mengejar dirinya. Sejak usianya masih 15 tahun, ia sudah merantau sebagai buruh di perusahaan Sawit. Masa remaja yang semestinya dihabiskan untuk belajar di sekolah formal diakhiri dengan merantau. Dan Sawit menambah kalkulasi anak putus sekolah di kampung Tinggi. Hanya dua pilihan memang, menjadi passenso di Papua atau pekerja kebun Sawit di Kalimantan. Sementara di Kampung Tinggi, pilihannya hanya menyadap pohon aren.

Sawit memilih bekerja di kebun sawit. Bukan ia menolak pedalaman Papua. Pengalaman tetangganya membuat ia berpikir dua kali. Penyakit malaria yang membekap tetangganya itu, dan beberapa perantau lain di Kampung Tinggi membuatnya khawatir. Justru akan membahayakan dirinya.

Saat kakak kandung Sawit memilih ke Papua, mereka sempat bersitegang. Namun apa daya, harapan mengubah hidup menjadi lebih baik, menjadi pilihan kakaknya. Sekeras apapun yang telah disaksikan dari para tetangga. Ia masih saja termotivasi oleh seorang perantau di kampung itu. Seorang derma yang menghibahkan hartanya untuk pembangunan Mesjid yang saat ini menjadi kebangaan warga kampung itu. Misinya sama, merantau untuk memberikan kebanggaan bagi kampungnya.

Selama tiga puluh satu tahun, Sawit membanting tenaganya di perkebunan sawit. Dari hasil kerjanya itu, ia berhasil membangun rumah di kampung. Dan saat itulah orang-orang kampung mulai memplesetkan namanya menjadi Sawit. Yang sebenarnya bernama lengkap Zawid. Nama itu diterima dengan pasrah dan mulai melekat saat ia kembali menjalani kehidupan lamanya di kampung.

Sawit tak mempersoalkan namanya, tapi kadang mengingatkan pada pelariannya dari perusahaan kebun sawit. Karena pohon itu tak mampu memberinya kekayaan. Yang ada, kerja yang tiada henti, dan membuat hidup ala kadarnya. Ia tak mampu menunjukkan kesuksesan, baik untuk dirinya, apalagi kampungnya. Itulah sebabnya, ia kadang menghapus ingatan itu. Dan berusaha menegaskan bahwa enau adalah pohon kemerdekaan, dan sawit adalah pohon simalakama.

“Kasihan kau pohon sawit, dikhawatirkan tumbuh oleh pecinta lingkungan. Untungnya memang banyak ke mereka, bebannya ?”, gerutu Sawit suatu kali mengingat masa kerja yang berat. Begitu sering ia menggerutu seperti itu, terutama saat menyadap enau. Barulah ia menyadari bagaimana pohon enau menjadi pohon ekonomis dan membebaskannya.  ­

“Maksudmu ? Tidak ingatkah kamu, aku memilih pulang untuk merdeka. Dan mestinya kamu tahu bahwa hanya lewat pohon enau di kampung kita ini yang bisa membantuku”

“Tapi, maaf kalau saya lancang saudaraku. Tapi buktinya itu tidak jauh beda dengan pekerjaan kita dulu”

“Apa kamu belum mengerti juga”, nada keras Sawit sontak membuat jengkel tamu lainnya. “

“Baiklah Sawit, aku akan mengerti. Mungkin minuman keras telah membekapmu”, balas Dullah dengan nada menyinggung kebiasan Sawit.

Saat masih bekerja bersama di Kebun Sawit, Sawit dan Dullah punya agenda yang sama. Targetnya, pada tahun kelima bekerja di kebun Sawit, mereka membangun rumah di kampung. Tahun berikutnya, agenda mencari pasangan hidup. Namun takdir berbicara beda. Dullah berhasil meminang sepupunya dan membawanya ikut serta. Sementara Sawit pasrah dengan prawakannya yang kurang mengundang ketertarikan.

Saat kondisi kerja semakin berat terasa, Sawit mulai berpikir untuk pulang kampung. Ia merasa tak menemukan semangat hidup di tanah rantau. Justru Sawit mendekam dalam minuman keras, sesekali sedih meratapi nasibnya. Hingga akhirnya kabur dari perkebunan secara diam-diam. Lari dari semua rutinitas kerja dan mengejar impian lain.

Saat mulai berada di kampung, Sawit mencoba mendekati seorang gadis. Dan jawaban itu hanya membawanya ke dunia teler. Ballo memang alami daripada Bir yang diminumnya saat masih di kebun Sawit. Tapi sama saja memabukkan. Ironi, Sawit mulai menjual ballo, dan hanya sedikit gula merah yang dibuatnya.

“Keluar kalian”, usir Sawit yang matanya mulai merah. “Aku tidak mabuk. Kalian yang mabuk. Aku memang suka minum tuak pahit, tapi ini untuk kebebasanku. Dan kalian, apa ? Kalian datang mengajakku minum bir. Eh, kutanya kalian, Bir itu milik siapa ? Sawit ?”

“Oke kami permisi, maaf menganggumu”

“Kalian memang menganggu. Menganggu warga dan lingkungan. Dan jangan lupa, mengganggu tidurmu juga”

Dullah bersama mitranya keluar dari rumah Sawit dengan tangan hampa. Sembari berjalan keluar, mereka terlihat begitu kecewa dan emosi. Sangat tanggung bagi mereka, sebab sisa lahan Sawit yang tidak berhasil dinego.

Perusahaan Sawit tetap masuk. Lahan tidur mulai dihidupi pohon sawit. Dulu hutan dibabat untuk tanam Jagung. Dulu orang Selatan membuka lahan dengan tanaman jagung, sekarang lahan itu digarap pemiliknya dan menjadi petani Sawit di bawah bendera perusahaan Biru. Alhasil, Orang Selatan kembali ke Selatan.

Sawit pun mulai ditinggalkan karena tak setuju dengan Dullah dan warga. Tak ada lagi yang mau menemaninya minum ballo. Ia merasa sendiri. Bahkan untuk datang bermain domino, tak lagi dilakukannya. Terpisah dari lingkungan sosialnya, ia memilih banyak berdiam di kebunnya. Dan pelan-pelan ia memilih membuat tuak manis untuk dijajahkan di pasar-pasar. Mulai menabung dari hasil penjualan gula merah. Orang-orang bahkan mencari gula merah ke kebunnya karena buatannya alami tanpa pengawet. Nikmat yang diperolehnya mulai menyadarkan dirinya. Meninggalkan dunia teler.

Warga mulai menjalani hidup yang seragam. Bekerja di kebunnya, tapi tumbuhan didalamnya bukan milik mereka. Terperangkap tanpa daya.

“Sawit, saudaraku, singgah dulu”, panggil Dullah di halaman kantor Desa suatu pagi.

Sawit terus menunduk, tanpa hirau melewati jalan depan kantor desa. Ia tidak bergemim sedikit pun. Tubuhnya hanya memberi isyarat bahwa sedang buru-buru meninjau pohon enaunya. Hanya saat berpapasan dengan seorang pelajar, barulah ia mengubah ekspresinya dan memberi sebuah senyum.

Salah seorang pelajar SLTP yang tadi berpapasan, berputar mengejar dan menahan Sawit.

“Om, ini ada tugas mengarang dari sekolah. Aku menulis Gula Merah : Emas dari Enrekang. Ini kupersembahkan pada Om”

“Wah terima kasih Nak”

“Iya Om, aku yang harusnya terima kasih Om, karena telah menjadi bahan dalam karanganku”, ujarnya sambil tertawa dalam canda bersama Sawit. “Baiklah Om, aku permisi, mau ketemu Ayah di Kantor Desa”.

Sawit kembali ke kebun menyadap dan merawat pohon enau terakhir di Kampung Tinggi.

Add a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *